Kamis, 28 November 2013

TAMAR


TAMAR
KEJADIAN 38: 1-30; MATIUS 1:3

Pernikahan pertama, mendapatkan suami yang tidak takut akan Tuhan hingga akhirnya suaminya meninggal. Pernikahan kedua, mendapatkan suami yang tidak cinta padanya dan juga tidak takut akan Tuhan hingga akhirnya sang suami meninggal lagi. Calon suami yang ketiga masih kecil, tapi mau tidak mau dia harus menunggunya besar karena peraturan pada saat itu mewajibkannya untuk melakukan hal tersebut. Untuk waktu yang lama dia menunggu calon suaminya besar, namun saat calon suaminya tersebut sudah besar, ternyata tidak juga diberikan kepadanya. Sepertinya orangtua dari anak tersebut takut anak cowoknya yang ketiga dan yang terakhir akan mati juga seperti kedua anaknya yang lain. Penantiannya selama bertahun-tahun ternyata sia-sia.
Dia berduka dan putus asa. Akhirnya dia tanggalkan baju yang biasa dipakainya sebagai tanda dia adalah seorang janda dan berganti mengenakan pakaian mirip mukena (pakaian yang biasa dipakai perempuan muslim untuk shalat) lalu pergi ke pintu masuk kota, entahlah apa yang dia pikirkan di sana. Bisa jadi hatinya sedang hancur remuk, harapannya sirna tak berbekas. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Pria yang tidak asing bagi dirinya. Pria yang selama ini menjadi mertua dari kedua suaminya terdahulu dan yang berjanji akan memberikan anak laki-lakinya untuk menjadi suaminya jika anak tersebut sudah besar. Harusnya pria tersebut mengenali dirinya, namun sayang karena dia menutup wajahnya, sang mertua pun tidak mengenalinya sehingga dia dikira perempuan sundal (zanah). Dia diajak untuk tidur dengan pria itu.
Dalam keadaan hancur remuk dan tanpa harapan, dia akhirnya menerima tawaran mertuanya itu. Dalam pikirannya, toh hidupnya sudah berantakan. Tapi juga dia ingin protes dengan mertuanya atas janji yang mertuanya tidak tepati. Dia berpura-pura menjadi perempuan sundal yang setiap tidur dengan pria pasti ada bayarannya. Mertuanya berjanji akan memberikannya seekor anak kambing. Dia setuju asalkan sebelum anak kambing itu sampai kepadanya, saat itu juga dia ingin sang mertua memberikan cap meterai serta kalung dan tongkatnya sebagai jaminan. Sang mertua memberikan apa yang dia minta dan mereka pun tidur bersama.
Seperti yang telah dijanjikan, sang mertua hendak memberikan seekor kambing kepadanya sekaligus mengambil kembali cap meterai serta kalung dan tongkatnya karena benda-benda itu jauh lebih penting dibandingkan seekor kambing. Mertuanya mengutus sahabatnya untuk mencari perempuan tersebut dan memberikan kambing itu. Sahabat mertuanya bertanya-tanya kepada orang sekitar di manakah perempuan jalang (qadeshah) yang berkeliaran di tempat tersebut. Pada zaman itu, ada dua tipe perempuan sundal/jalang. Pertama adalah zanah, ini adalah perempuan sundal/pelacur yang sangat rendah derajatnya. Kedua adalah qadeshah, ini adalah perempuan jalang/pelacur yang lebih tinggi derajatnya, biasa disebut pelacur bakti karena mereka melakukan pelacuran di kuil dan atas perintah dewa-dewi mereka. Sahabat mertuanya tersebut tidak berhasil menemuinya. Ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama memang dia yang sengaja menyembunyikan diri dan lebih memilih untuk menyimpan benda-benda penting dari mertuanya daripada menerima seekor kambing atau kemungkinan kedua karena sahabat mertuanya salah mencari orang. Yang dicari sahabat mertuanya adalah qadeshah, bukan zanah sehingga orang-orang di sekitarnya tidak ada yang tahu bahwa ada pelacur bakti di sana. Namun sepertinya kemungkinan pertama lebih kuat dibandingkan kemungkinan kedua. Sebab, dia memerlukan benda-benda tersebut sebagai bukti ayah dari anak yang dikandungnya.  Yah, anak yang dikandungnya. Dia sedang hamil dari ayah mertuanya.
Tiga bulan kemudian kabar kehamilannya sampai kepada mertuanya, namun mertuanya tidak tahu bahwa dia lah yang telah menghamili perempuan itu. Dengan penuh amarah sang mertua meminta perempuan itu dibawa kepadanya untuk dibakar. Namun perempuan itu menyuruh orang pergi ke mertuanya dan mengatakan “Dari laki-laki yang empunya barang-barang inilah aku mengandung.” Sang mertua memeriksa cap meterai serta kalung dan tongkat. Didapatilah ternyata benda-benda itu adalah miliknya. Sadarlah dia bahwa dia lah yang salah karena tidak memberikan anak laki-lakinya yang terakhir kepada menantunya tersebut. Dari hasil hubungan tersebut lahirlah dua anak kembar.
Sungguh kisah yang kelam. Kisah pernikahan yang berantakan, kisah penantian yang tidak tersampaikan, dan kisah seorang perempuan baik-baik yang sampai dikira pelacur hina (zanah). Itulah kisah Tamar. Kisah yang kita baca di dalam Kejadian 38: 1-30.
Mungkin kita mengira hidup Tamar yang berantakan tidak memiliki masa depan, bahkan setelah itu pun kisahnya tidak lagi terdengar. Namun jika kita baca Rut 4:12, di sana nama Tamar muncul kembali dengan nada positif bahkan sebagai contoh positif bagi Boas dan Rut yang akan menikah. Yang lebih luar biasa, nama Tamar muncul di dalam Matius 1:3 sebagai bagian dari silsilah Yesus, sebagai bagian dari nenek moyang Yesus.
Bagi manusia mungkin hidup Tamar berantakan, tapi Tuhan tidak membuang dia begitu saja. Tuhan justru memakai hidupnya untuk menjadi bagian dari karya penyelamatan Allah bagi dunia. Apakah kita merasa sekarang hidup kita luar biasa berantakan? Jangan putus asa, Tuhan akan memakai hidup kita. Persiapkan dan benahilah diri. Yesus mengasihi kita.

Nuryanto Gracia

TAK USAH LARA SENDIRI


TAK USAH LARA SENDIRI
LUKAS 5:12-16

ODHA? Teman-teman tahu itu apa? Bukan nama orang. ODHA singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS. ODHA selama ini selalu dikucilkan. Banyak orang yang jijik dengan mereka. Mereka dianggap sebagai manusia menjijikkan dan penuh dosa. Orang-orang akan selalu beranggapan bahwa orang yang terkana HIV/AIDS pasti adalah orang yang melakukan perzinahan.

Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan mereka. Bersalaman pun tidak ada yang sudi karena takut tertular. Seandainya pun ada yang berani bersalaman dengan mereka, setelah itu pasti akan langsung cuci tangan sebersih-bersihnya. Bisa kita bayangkan bagaimana hidup jadi ODHA? Bisa bayangkan bagaimana hidup tapi tidak diterima oleh sekitar, tidak ada yang mau berteman dengan kita?

Pada zaman Perjanjian Lama ada penyakit yang sama menjijikkannya seperti HIV/AIDS yaitu kusta. Mereka yang terkena penyakit kusta akan dijauhkan dari masyarakat sekitar. Mereka akan diusir dari perkemahan karena kusta itu najis ( Bilangan 5:1-4). Orang yang kena penyakit kusta dianggap telah melakukan dosa kepada Tuhan. Satu orang pun tidak ada yang berani menyentuh mereka, berdekatan saja tidak ada yang berani. Pada saat itu, kusta belum ada obatnya. Saat ini, kusta sudah bisa disembuhkan. 

Namun yang luar biasa, Yesus justru menjamah orang berpenyakit kusta yang meminta kesembuhan dari-Nya. Yesus tidak merasa jijik dengan orang itu. Yesus merasakan penderitaan yang dirasakan oleh orang tersebut. Yesus tidak membiarkan orang itu lara (sedih/susah hati) sendiri. 

Kini, begitu juga yang harus kita lakukan dengan para ODHA. Jangan biarkan mereka lara sendiri. Mungkin kita tidak bisa menyembuhkan penyakit mereka seperti Yesus menyembuhkan orang yang berpenyakit kusta tapi kita bisa mengurangi luka hatinya dengan tidak mengucilkan mereka. Perlakukan mereka sama seperti manusia lainnya. HIV/AIDS tidak menular hanya dengan berpelukan ataupun bersalaman. HIV/AIDS menular melalui darah (jarum suntik yang tidak steril atau transfusi darah) dan seks bebas. 

Jadi rangkullah para ODHA dengan penuh kasih. Seandainya Yesus masih hidup pada saat ini pun, Dia pasti akan merangkul para ODHA seperti Dia merangkul orang yang berpenyakit kusta.

Nuryanto Gracia

Kamis, 21 November 2013

MENTAL KEONG



MENTAL KEONG
KEJADIAN 12: 10-20

“Mental keong” kata yang ini sering diberikan kepada manusia yang tidak berani mengambil resiko atau tidak berani melakukan sesuatu karena takut gagal. Padahal sesungguhnya penggunaan kata tersebut untuk orang-orang yang tidak berani mengambil resiko, kurang tepat. Keong masuk ke dalam cangkangnya bukan karena dia takut mengambil resiko tapi karena dia melihat ada bahaya di depannya. Itu adalah cara dia mempertahankan dirinya. Setiap binatang mempunyai cara untuk mempertahankan diri. Apakah menghindari diri dari bahaya adalah sesuatu yang salah? Tidak. Amsal 22:3 mengatakan, “Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka.” Berarti keong termasuk bijak, kan? Dia bersembunyi saat melihat malapetaka.
Menghindar dari malapetaka memang tidak salah, tetapi tidak berani mengambil resiko atau takut gagal adalah sebuah kesalahan. Apapun yang kita lakukan pasti ada resikonya. Bahkan saat kita tidak berani melakukan sesuatu karena takut mendapatkan resiko, sesungguhnya kita juga sudah mendapatkan resikonya yaitu tidak mendapatkan apapun.
Kita tidak bisa terhindar dari resiko hidup. Jangan kabur, hadapilah setiap masalah dengan bijak. Abraham (dalam Kejadian 12: 10-20) tidak berani mengambil resiko dengan mengatakan Sarai adalah istrinya, sehingga dia berbohong dengan mengatakan Saraui adalah adiknya. Abraham memang tidak mendapatkian hal buruk dari kebohongannya, tapi orang-orang di sekitarnya yang mendapatkan hal buruk tersebut.
Hadapilah tantangan yang datang. Jangan lari. Jika kita lari, bisa jadi orang-orang di sekitar kita yang mendapatkan hal buruk gara-gara kita. Jangan takut, Tuhan selalu menguatkan kita.

Nuryanto Gracia

YESUS KRISTUS RAJA SURGAWI SEJATI



YESUS KRISTUS RAJA SURGAWI SEJATI
YEREMIA 23: 1-6; MAZMUR 46; KOLOSE 1:9-20; LUKAS 23:33-43

“Raja para penjahat.” Jika ada yang memberikan Yesus  julukan tersebut, kita setuju atau tidak? Banyak dari antara kita mungkin tidak setuju. Kita dengan penuh keyakinan akan berkata Yesus adalah Raja Mahakuasa. Dia Maha Agung. Tidak layak dijuluki Raja para penjahat.
Kolose 1:16 mengatakan singgasana, kerajaan, pemerintah maupun penguasa diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Itu artinya semua penguasa yang ada di bumi berada di bawah kuasaNya. Jadi tidak mungkin Tuhan yang Maha Besar tersebut dapat dijuluki Raja para penjahat.
Yesus berbeda dengan para raja yang diceritakan dalam Yeremia 23:1-6. Dalam perikop tersebut diceritakan tentang raja Yehuda dan Israel Utara yang tidak memedulikan nasib bangsanya. Allah murka dengan para raja tersebut. Begitu murkanya hingga Allah mengatakan dalam Yer 23:2 “Kamu telah membiarkan kambing dombaKu terserak dan tercerai berai, dan kamu tidak menjaganya. Maka ketahuilah, Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat.” Yesus berbeda dengan para raja tersebut. Yesus sangat memikirkan nasib umatNya. Oleh karena itu, Dia rela mati untuk menebus dosa kita. Jadi tidak layak menyebut Yesus sebagai Raja para penjahat.
Di satu sisi memang Yesus adalah Raja Maha Kuasa yang kekuasaanNya mengatasi apapun yang ada di bumi. Tapi kita jangan terjebak hanya di satu sisi tersebut. Orang banyak, pemimpin-pemimpin, prajurit-prajurit terjebak hanya pada sisi tersebut sehingga mereka memiliki konsep bawa Raja yang Mahakuasa itu seharusnya mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat lepas dari proses penyaliban (Luk 23:35,37). Tapi kenyataannya Yesus tidak lepas dari kayu salib itu. Yesus justru membiarkan diriNya disalibkan bersama kedua penjahat di kanan dan kirinya.
Di sisi yang lain, dapat dikatakan Yesus adalah Raja para penjahat. Siapakah penjahatnya? Kita. Apakah kita tidak sadar bahwa kita semua adalah penjahat? Adakah di antara kita orang baik? Tidak, kita semua adalah penjahat. Penjahat yang seharusnya dihukum karena dosa yang telah kita perbuat. Tapi karena Yesus adalah Raja yang mengasihi umatNya, Dia rela mati untuk kita, para penjahat.
Tapi penjahat seperti apakah kita? Penjahat yang tidak percaya bahwa Yesus mampu menyelamatkan kita sehingga mempertanyakan kuasa Yesus seperti penjahat pertama? “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami!” (Luk 23:39). Atau kita seperti penjahat kedua yang menyadari kesalahannya sehingga dia memang pantas dihukum dan yakin sepenuhnya bahwa Yesus memang sungguh Raja (Luk 23:41-42)?
Perhatikan kisah selanjutnya, Yesus menyelamatkan penjahat yang memiliki iman kepadaNya. Yesus memang Raja para penjahat. Dia memang mati untuk para penjahat. Dia memang menyelamatkan para penjahat, tapi tidak sembarangan penjahat. Yang dapat menerima keselamatan dariNya adalah penjahat yang menyadari kesalahanNya dan beriman penuh kepadaNya. Apakah kita termasuk penjahat tersebut yang menyadari kesalahan dan beriman penuh kepada Kristus? Atau kita masih seperti penjahat yang pertama?

Nuryanto Gracia

Rabu, 13 November 2013

ARTIFISIAL


ARTIFISIAL

MATIUS 15: 1-20

 

Opossum         : Dari kita berempat, siapakah yang paling pintar berpura-pura? Mungkinkah aku yang paling hebat? Aku jika sedang ada mangsa yang mendekati maka aku akan berpura-pura mati.

Kumbang rusa : Aku juga sama seperti kamu, aku berpura-pura mati ketika pemangsa datang.

Burung kedidi : Ah aku yang lebih hebat dong. Ketika sarangku ketahuan musuh, aku akan berpura-pura kakiku patah untuk menarik perhatian musuh lalu pergi menjauh dari sarang agar anak-anakku aman.

Burung pemakan semut: Sepertinya sih aku yang lebih hebat dalam berpura-pura. Aku       mampu membuat mangsaku takut dan kabur.

Burung kedidi : Wah hebat! Bagaimana caranya?

Burung pemakan semut: Aku merapat ke tanah sambil menaikkan leherku dan berpura-pura           menjadi ular. Keren kan?

Burung kedidi : Wah keren banget.

Opossum         : Iya kamu keren, tapi dibandingkan manusia, kamu masih kalah keren.

Burung pemakan semut: Memangnya manusia berpura-pura seperti apa?

Opossum         : Manusia ada yang berpura-pura taat beribadah, memakai simbol-simbol beragama agar dikira orang baik, saleh dan jujur, namun ternyata sering menyakiti hati orangtua, teman, dan orang sekitarnya.

Di atas adalah kritikan para binatang untuk manusia. Apakah kamu termasuk manusia yang dikritik oleh binatang tersebut? Apakah kamu termasuk manusia artifisial, yang hidupnya penuh kepalsuan dan kepura-puraan? Apakah kita termasuk manusia yang memakai topeng lahiriah demi menutupi hati kita yang penuh kebusukan? Apakah kita termasuk orang-orang farisi yang menutupi kebusukan hatinya dengan cuci tangan (Matius 15: 1-20)? Ingatlah, Yesus mengatakan “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” Oleh karena itu, hati kita lah yang pertama-tama harus dicuci bukan tangan. Sudahkah kamu mencuci hatimu hari ini?

 Nuryanto Gracia

HARI TUHAN, BERKAH ATAU CELAKA?


HARI TUHAN, BERKAH ATAU CELAKA?

MALEAKHI 4: 1-2; MAZMUR 98; 2 TESALONIKA 3: 6-13; LUKAS 21: 5-19

“Hari ini, harinya Tuhan, harinya Tuhan. Mari kita bersuka ria, bersuka ria.”

Pernah mendengar lirik lagu tersebut? Jika kita pernah mengikuti sekolah minggu ataupun menjadi guru sekolah minggu, kita pasti sudah tidak asing lagi dengan lagu tersebut.  Di dalam lirik tersebut, hari Tuhan digambarkan dengan sangat menggembirakan sekali sehingga kita pun harus bersuka ria. Entahlah apakah sang penulis syair memahami hari Tuhan yang dimaksud seperti hari Tuhan yang dipahami oleh umat perjanjian lama dan perjanjian baru atau hari Tuhan yang dimaksud sebagai hari miliknya Tuhan. Kemungkinan besar hari Tuhan yang dimaksud oleh pencipta lagu tersebut adalah hari miliknya Tuhan. Hari senin sampai minggu adalah hari miliknya Tuhan, sehingga tidak ada yang namanya hari buruk. Semua hari baik karena semuanya adalah milik Tuhan. Kira-kira demikianlah pesan tersirat dalam lagu tersebut.

Namun hal ini berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis Maleakhi. Jika penulis syair lagu tersebut mengatakan semua hari baik, tidak ada hari buruk karena semua harinya Tuhan, justru penulis Maleakhi mengatakan ada hari yang buruk yaitu Hari Tuhan. Hari Tuhan menyala seperti perapian (Maleakhi 4:1). Bahkan Yesus dalam Lukas 21: 9-12 mengatakan bahwa Hari Tuhan akan ditandai dengan peperangan, pemberontakan, gempa bumi, penyakit, kelaparan, hal-hal mengejutkan dan tanda-tanda yang dahsyat dari langit, penangkapan dan penganiayaan orang-orang percaya. Mengerikan sekali bukan?

Jika begitu, apa menyenangkannya dari hari Tuhan? Sampai-sampai jemaat Tesalonika rela tidak melakukan apapun demi menanti hari Tuhan. Dalam surat Tesalonika yang pertama, dikatakan bahwa hari Tuhan akan segera datang. Yesus akan segera kembali. Jemaat Tesalonika meyakini itu dan menunggu kedatangan Yesus tanpa melakukan apapun. Mereka tidak bekerja tapi tetap makan sehingga merepotkan banyak orang. Itulah kenapa, 2 Tesalonka 3: 7 memberikan contoh cara hidup para rasul yang tidak lalai bekerja dan tidak makan roti orang dengan percuma. Bahkan di ayat ke-10 sampai dikatakan “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.”

Mengapa ada dua pemahaman yang berbeda tentang hari Tuhan? Maleakhi dan Yesus menggambarkan Hari Tuhan dengan begitu menyeramkannya namun Jemaat Tesalonika justru menggambarkan hari Tuhan dengan sesuatu yang menyenangkan sampai mereka rela tidak melakukan apapun?

Umat Israel pada zaman Maleakhi hidup dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan keagamaan. Mereka mempersembahkan korban yang tidak layak, yaitu binatang-binatang yang buta, timpang dan sakit kepada Tuhan padahal mereka adalah orang-orang yang mampu mempersembahkan lebih baik. Keluarga mereka abaikan sehingga terjadi kekerasan dan perceraian di dalam keluarga. Di dalam masyarakat keadilan pun dijungkirbalikkan. Terhadap mereka inilah, Maleakhi menubuatkan bahwa hari Tuhan menyala seperti perapian dan mereka semua akan dibakar oleh hari yang akan datang tersebut.

Namun, bagi orang yang takut akan Tuhan, Hari Tuhan adalah sesuatu yang menyenangkan, “Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang” (Maleakhi 4:2). Kita termasuk orang yang sama seperti umat Israel pada zaman maleakhi atau umat yang takut akan Tuhan? Berbahagialah jika kita termasuk umat yang takut akan Tuhan karena  hari Tuhan sungguh membahagiakan.

Namun itu bukan berarti kita menunggu kedatangan Yesus secara pasif. Yesus mengatakan, “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi” (Lukas 21:13). 2 Tesalonika 3:12-13 mengatakan, “Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri.  Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik.” Baik Yesus maupun penulis 2 Tesalonika mengajak kita untuk menanti kedatangan Hari Tuhan dengan melakukan tindakan aktif bukan menunggu secara pasif. Mari menanti kedatangan hari Tuhan dengan tidak jemu-jemu berbuat baik.

 

Nuryanto Gracia