Rabu, 06 Februari 2013

MENEMBUS DAN MENGATASI BATAS HUKUM MANUSIA


MENEMBUS DAN MENGATASI BATAS HUKUM MANUSIA
Gal 3:15-29
“Jika jalanan sepi, tidak ada kendaraan sama sekali apakah kamu akan menerobos lampu merah atau tetap menunggu lampu merah berubah menjadi hijau? Bodoh sekali jika kamu tetap menunggu lampu merah berubah jadi hijau. Lampu merah dibuat untuk mengatur lalu lintas agar berjalan teratur. Giliran jalan kendaraan dari arah tertentu diatur melalui lalu lintas. Nah sekarang kamu sedang sendiri tanpa ada kendaraan apapun, lalu mengapa kamu masih menunggu lampu merah berubah jadi hijau? Janganlah menjalani peraturan tanpa tahu gunanya,” begitulah pertanyaan seorang teman kepada saya yang menyadarkan saya bahwa peraturan dibuat pasti ada tujuannya. 
Seringkali kita melaksanakan peraturan bukan karena menyadari bahwa tujuan dari peraturan itu baik, melainkan karena peraturan itu adalah peraturan sehingga “mau tidak mau harus ditaati”. Saya menyadari bahwa menggunakan helm itu sangat penting karena dapat mengurangi resiko kecelakaan yang fatal. Hal ini saya sadari setelah kamis minggu lalu saya jatuh dari motor di fly over dekat tangerang city karena adanya lobang di fly over tersebut. Kepala saya terbentur di aspal berkali-kali. Namun karena saya menggunakan helm dengan benar, maka helm itu tidak terlepas dan kepala saya aman. Seandainya saya tidak menggunakan helm karena pada saat itu sudah malam dan pasti polisi sudah tidak ada, maka pasti kepala saya sudah hancur saat itu.

Sikap “mau tak mau harus ditaati” membuat kita menaati peraturan secara membabi-buta bahkan juga terpaksa sehingga mengakibatkan kita tidak mengkritisi/memikirkan/menguji kembali tujuan dari peraturan tersebut. Kita menganggap bahwa semua peraturan itu baik sehingga menaati peraturan adalah hal yang baik, padahal belum tentu semua peraturan yang dibuat manusia itu baik. Pada masa Yesus, masyarakat percaya hukum “ingat dan kuduskanlah hari sabat!” harus ditaati dan tidak boleh dilanggar sehingga walaupun mereka kelaparan dan tidak ada makanan maka mereka tidak boleh memetik bulir gandum. Seandainya pun ada orang yang membutuhkan pertolongan maka mereka tidak boleh menolongnya. Mereka menganut “mau tak mau harus ditaati” sehingga mereka melakukan hukum taurat tanpa mengetahui tujuan sesungguhnya dari hukum tersebut. Oleh karena itu lah Yesus mengingatkan mereka kembali tentang tujuan hukum tersebut. “Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat,”(Mrk 2:27). Umat Yahudi juga percaya bahwa dengan melakukan hukum Taurat secara membabi-buta mereka akan diselamatkan. Oleh karena itu, Paulus mengingatkan kembali fungsi Taurat. Hukum taurat bukan untuk menyelamatkan. “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman” (Gal 3:24).

Kita perlu mengetahui tujuan dari sebuah peraturan itu ditetapkan sehingga ketika peraturan tersebut tidak lagi memanusiakan manusia, kita dapat memberikan masukan yang positif. Sejumlah LSM yang tergabung dalam TAKE (Tim Advokasi untuk Kedaulatan Energi) menilai beberapa pasal UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas merugikan warga negara, khususnya para nelayan. Misalnya pasal 1 ayat 19 yang berbunyi, “Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;”

"Setelah hampir sepuluh tahun berlalu, UU Migas terbukti masih memiliki banyak pasal yang melanggar konstitusi" tegas forum LSM tersebut pada Mei 2012.

Yesus berani menyuarakan kebenaran ketika peraturan tidak berjalan sebagaimana tujuan awalnya. TAKE berani untuk menyuarakan kebenaran ketika ada peraturan yang merugikan manusia. Masih banyak peraturan di negeri ini yang merugikan kaum perempuan, kaum miskin dan kamu yang dianggap minoritas. Apakah sebagai pengikut Kristus kita juga berani menyuarakan kebenaran ketika ada peraturan yang sudah tidak lagi memanusiakan manusia? Jika kita dengan segala keterbatasan belum bisa menyuarakan kebenaran di luar sana secara lantang, maka kita bisa mulai dari diri sendiri. Mulailah dengan hal kecil yaitu menaati hukum karena menyadari tujuan dari peraturan tersebut dan menyadari ada hal baik yang bisa didapat jika mematuhi peraturan tersebut, bukan karena “mau tak mau harus ditaati.”

Nuryanto Gracia

MENEMBUS DAN MENGATASI BATAS PERSEPSI

MENEMBUS DAN MENGATASI BATAS PERSEPSI
2 TIMOTIUS 4:1-5

Menurut teman-teman, punuknya unta yang seperti bukit kecil itu, isinya apa? Pasti dengan cepat, teman-teman akan menjawab “air.”
Mengapa teman-teman bisa menjawab seyakin itu? Itu karena persepsi pada umumnya menganggap punuk unta itu isinya air sehingga unta bisa bertahan berhari-hari di padang pasir tanpa minum air. Persepsi umum adalah pendapat kebanyakan orang. Dari mana persepsi umum teman-teman berasal? Dari menonton TV, media sosial atau percakapan dengan orang lain.
Apakah benar punuk unta isinya air? Salah!
Punuk Unta tersusun atas lemak, namun jika Unta membutuhkan air maka lemak itu akan luluh menjadi air yang mengalir lewat hidung lalu masuk ke mulutnya.
Media telah menguasai persepsi kita. Apa yang dikatakan oleh media seringkali menjadi kebenaran bagi kita, tanpa kita kritisi terlebih dahulu.
Dalam 2 Timotius 4: 5, Timotius dinasihatkan “Kuasailah dirimu dalam segala hal,” di tengah banyaknya persepsi yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
Teman-teman, pesan itu bukan hanya untuk Timotius, tetapi juga untuk kita. Media telah menawarkan banyak hal yang menarik, yang akan membentuk persepsi kita. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati terhadap setiap informasi yang kita dapatkan. Kuasailah diri kita, jangan langsung diterima begitu saja sebagai suatu kebenaran. Kita harus mengkritisinya atau memikirkannya kembali. 

Nuryanto Gracia