YANG
SETIA YANG DIPUJI
AMOS
8:4-7; MZM 113; 1 TIMOTIUS 2:1-7; LUKAS 16:1-13
Di gereja mendengar khotbah dengan mata
berbinar-binar, kembali ke rumah justru jadi orang yang sangar. Sangar dengan
anak, sangar dengan suami/istri, sangar dengan orangtua, sangar dengan
tetangga. Di gereja membaca Alkitab dengan tenang, di rumah bikin perang. Perang
dengan anak, perang dengan suami/istri, perang dengan orangtua, perang dengan
tetangga. Di gereja memuji Tuhan dengan berapi-api, di tempat kerja
menceritakan keburukan orang lain juga dengan berapi-api. Apa gunanya beribadah
di gereja jika begitu? Apakah kita berharap dengan rajin beribadah saja akan
menyenangkan hati Tuhan? Apakah Tuhan senang dengan ibadah kita yang semarak
dan gegap gempita? Apakah Tuhan senang dengan banyaknya uang persembahan yang
kita berikan tiap minggu?
“Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku
tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan
kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan
korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang.
Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau
Aku dengar” (Amos 5:21-23). Tuhan membenci ibadah umat Israel pada zaman Amos. Mengapa?
Karena mereka melakukan kekejian terhadap orang miskin dan sengsara, mereka
melakukan ketidakadilan, mereka memperjualbelikan manusia (Amos 8:4-6). Intinya,
ibadah dan kehidupan nyata mereka sangat berbeda.
Jangan-jangan juga Tuhan tidak suka dengan ibadah
kita. Ibadah yang hanya berbentuk ritualitas tanpa spiritualitas. Ibadah yang
hanya menarik namun munafik. Ibadah yang hanya peduli dengan kepentingan diri
sendiri dan tidak peduli dengan kepentingan orang lain. Ibadah yang hanya
memuaskan ego sendiri agar diselamatkan masuk surga, agar diberkati seluruh
hidupnya, agar dilancarkan seluruh bisnisnya, agar indah masa depannya.
Padahal, Tuhan yang disembah dalam ibadah kita,
Tuhan Yesus Kristus, adalah Tuhan yang tidak hanya memikirkan diri sendiri
melainkan juga kepentingan orang lain. Dalam
1 Timotius 2:3-4 Paulus mengatakan, “Itulah yang baik dan yang berkenan kepada
Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan
memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” Tuhan ingin semua orang diselamatkan,
bukan hanya kita. Tuhan peduli dengan semua orang. Jika kita sungguh beribadah
kepada Tuhan Yesus Kristus, maka seharusnya kita pun memiliki kepedulian yang
sama denganNya.
Ibadah tidak hanya sekadar memuaskan keinginan dan
kebutuhan sendiri tetapi juga berdampak bagi orang-orang di sekitar kita. Dampak
baik yang kita berikan untuk orang-orang di sekitar kita, suatu saat nanti juga
akan memberikan dampak yang baik bagi diri kita. Anehnya ini yang tidak
disadari oleh setiap kita yang beribadah, justru hal ini disadari oleh
bendahara yang tidak jujur dalam perumpamaan Yesus (Lukas 16:1-8).
Bendahara ini ketahuan oleh tuannya telah
menghamburkan uang milik tuannya. Dia akan segera dipecat. Sebelum dipecat dia
memikirkan apa yang bisa dilakukannya agar setelah dipecat hidupnya tidak
sengsara. “Memberi dampak baik,” hal ini yang akhirnya dipilih secara cerdik
oleh si bendara. Dia sadar jika dia memberi dampak baik bagi sekitarnya, suatu
saat nanti sekitarnya pun akan memberi dampak baik bagi dirinya. Itu lah kenapa
tuannya memuji dia, bukan karena perbuatan liciknya tapi karena kecerdikannya
mengelola masalah dengan memanfaatkan sistem tabur tuai. Apa yang ditabur, itu
yang dituai. Menabur kebaikan, akan menuai kebaikan. Bendahara itu lebih cerdik
daripada kita yang sering beribadah, itulah kenapa kitab Lukas mengatakan “Sebab
anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang”
(Luk 16:8).
Kita belajar dari si bendahara bahwa peduli dengan
sekitar akan berdampak baik juga bagi diri kita. Tapi motivasi kita peduli
dengan sekitar berbeda dengan si bendara. Kita peduli dengan sekitar karena
ungkapan syukur atas kasih Allah kepada kita. Kita beribadah di gereja juga
sebagai ungkapan syukur atas kasih Allah. Oleh karena itu, ungkapan syukur kita
harus holistik (menyeluruh), tidak hanya di gereja namun juga dalam seluruh
aspek kehidupan kita.
Ketika bersyukur atas kasih Allah diungkapkan dalam
seluruh aspek kehidupan kita maka tidak ada lagi mereka yang baik di gereja namun
jahat di luar. Atau baik di luar tapi tidak mau ke gereja karena merasa berbuat
baik saja sudah cukup. Bersyukur secara holistik memang sulit, itulah kenapa kita
lebih memilih cukup bersyukur di gereja saja. Tapi jika kita tetap setia maka
Tuhan akan memuji kita, karena hanya yang setia yang layak mendapatkan pujian. “Mari,
hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan
bagimu sejak dunia dijadikan,” (Matius 25:34).
Nuryanto Gracia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar