Kamis, 26 September 2013

MENGENDALIKAN HAWA NAFSU

MENGENDALIKAN HAWA NAFSU
1 Tesalonika 4: 1-8

Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas. Keinginan matanya lebih luas daripada kemampuan matanya memandang. Kemauan makannya lebih banyak daripada kemampuan lambungnya untuk menampung. Kemauan mendengarnya lebih banyak daripada kemampuan daun telinganya untuk menangkap. Kemauan mengumpulkan hartanya lebih banyak dibandingkan kemampuan tangannya untuk menggenggam. Gunungan uang, rimbunan harta, lautan makanan ataupun jutaan pujian, tidak pernah membuat manusia puas. Itulah kenapa hawa nafsu perlu dikendalikan. Dengan apa? Dengan memberikan batasan-batasan.

Tidak ada yang salah dengan nafsu, namun jadi salah ketika kita tidak mampu mengendalikannya atau tidak memberikan batasan. Misalnya ketika kita tidak bisa mengendalikan nafsu makan, Amsal 23:2 mengatakan, “Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu!” Dalam hal makan saja kita harus mengendalikan nafsu, begitu juga seharusnya ketika berpacaran.

Pertama kali genggaman tangan rasanya seperti naik mobil limousin, menyenang sekali , tapi sebulan kemudian pasti ingin lebih dari itu, ciuman pipi. Pertama kali ciuman pipi rasanya seperti terbang naik sapu Harrypotter, menyenangkan sekali, tapi sebulan kemudian ingin lebih dari itu, ciuman bibir. Pertama kali ciuman bibir rasanya seperti naik roket ke bulan, tapi sebulan kemudian ingin lebih dari itu, hingga akhirnya melakukan hubungan seks sebelum nikah. Pertama kali melakukan hubungan seks rasanya seperti naik Curiosity rover (kendaraan yang sekarang sedang dipakai untuk meneliti planet Mars), menyenangkan luar biasa, tapi setahun kemudian mungkin sudah membosankan dan akhirnya si cowok akan mencari cewek baru atau mungkin sebaliknya, si cewek yang mencari cowok baru.


Dalam 1 Tesalonika  4:3-5 mengajarkan bagaimana cara mengendalikan nafsu seksual, yaitu dengan menjauhi percabulan dan mengambil seorang perempuan (saja) untuk menjadi isteri dan hidup dalam pengudusan dan penghormatan. Tidak hanya sekadar hidup kudus, Paulus juga menasihatkan untuk hidup dalam penghormatan. Ketika kita berpacaran, hormatilah pacar kita selayaknya manusia yang harus dicintai bukan barang pemuas kebutuhan. 

Nuryanto Gracia

MENJADI BIJAK, BUKAN TAMAK, TERHADAP UANG

MENJADI BIJAK, BUKAN TAMAK, TERHADAP UANG
AMOS 6: 1, 4-7; MAZMUR 146; 1 TIMOTIUS 6: 6-19; LUKAS 16: 19-31

“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10). Apakah uang punya kekuatan sebegitu besar sehingga segala kejahatan berakar pada uang? Ya. Demi warisan seorang anak bisa membunuh ayahnya. Demi uang persembahan, beberapa pendeta di gereja tertentu, bisa saling menghujat rekan sekerjanya. Demi mendapatkan proyek atau dagangan kita laku, kita bisa memfitnah lawan bisnis kita. Demi bisa membeli gadget (HP/tablet/laptop) terbaru remaja bisa terlibat dalam pencurian, bahkan ada yang sampai menjual keperawanannya dan juga organ tubuhnya (misal ginjal). Demi memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya, aparat pemerintah rela mengkorupsi uang rakyat, dan hal ini yang menjadi masalah besar di negara Indonesia sekarang. Dan masih banyak contoh-contoh kejahatan lainnya yang diakibatkan oleh cinta uang.

Kekristenan tidak melarang kita kaya ataupun kita punya banyak uang, yang dilarang adalah cinta uang. Cinta uang membuat kita tamak dan tidak peduli dengan orang lain, bahkan sampai ibadah pun dijadikan alat mencari uang/keuntungan. 

Perhatikan kisah Yesus tentang orang kaya di dalam Lukas 16: 19-31. Orang kaya ini dapat dikatakan sangat kaya, ayat 19 mengatakan dia berpakaian jubah ungu. Pada zaman itu, jubah ungu melambangkan kekayaan dan kekuasaan. Selain sangat kaya, orang ini sangat suka berfoya-foya. Dia mengadakan pesta setiap hari di rumahnya. Yang menjadi masalah bukan hanya kekayaan dan foya-foyanya tapi sikap apatisnya, sikap tidak peduli dengan sekitarnya.

Di depan pintu rumahnya ada seorang pengemis yang badannya penuh borok. Di depan pintu rumah, itu artinya setiap kali orang kaya itu keluar atau pun masuk ke rumah, ataupun membukakan pintu untuk mengundang teman-temannya masuk berpesta, dia pasti melihat pengemis itu. Tapi anehnya, orang kaya ini tidak merasa terganggu sama sekali. Mungkin kita berpikir, “Bagus dong, dia tidak terganggu dengan kehadiran pengemis menjijikkan tersebut. Bahkan dia tidak mengusir pengemis itu.” Dia memang tidak mengusir pengemis tersebut tapi dia juga tidak membantu sama sekali pengemis tersebut.

Kita mungkin berpikir sama seperti orang kaya tersebut,  jika tidak mau membantu (bukan tidak bisa membantu), ya sudah jangan mengganggu mereka. Kita pikir ini adalah sikap yang aman. Kita mungkin berpikir kita tidak seperti orang kaya dalam kisah Amos yang mendapatkan kenyamanan dan keamanannya (Amos 6:1,4-7) dari melakukan penindasan dan ketidakadilan. Orang-orang kaya dalam kitab Amos bisa berbaring di tempat tidur dari gading, bisa duduk santai, bisa memakan anak domba dan lembu, bisa bernyanyi-nyanyi dan juga bisa minum anggur dari menyiksa orang miskin (kita bisa baca Amos pasal 1 – 5).
Kita mungkin merasa tidak seperti orang kaya dalam kisah Amos, kita merasa kita seperti orang kaya dalam kisah Yesus. Namun dalam kisah tersebut, justru orang kaya ini ketika mati dimasukkan ke tempat penderitaan. Dia meminta agar Lazarus memberitahukan ke saudara-saudaranya bahwa tindakan mereka selama ini salah. Yah, bagi Yesus tindakan orang kaya tersebut salah.  Walaupun tidak menindas orang miskin, namun ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar juga adalah salah. Tamak dengan harta, di depan mata melihat ada orang menderita namun tidak mau membantu, itu adalah sikap yang salah.
Yakobus 4:17 mengatakan, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Kita melihat ada orang yang menderita di sekitar kita dan kita tahu bahwa kita harus membantunya, tapi kita justru tidak peduli, maka kita telah berbuat dosa.

Dan untuk setiap kita yang miskin (harta), ketika membaca penjelasan di atas, bukan lantas memberi kita pemikiran,” Wah ini kesempatan untuk menunjukkan diri menderita di depan orang-orang kaya agar diberi bantuan” sehingga kita menjadi pengemis belas kasihan. Atau pemikiran “Wah ini kesempatan untuk minta bantuan dari gereja, gereja kan harus membantu umatnya yang membutuhkan pertolongan” sehingga kita ke gereja hanya demi mendapatkan bantuan beasiswa anak ataupun diakonia bukan untuk ibadah. Dalam jemaat yang dilayani Timotius, ada banyak yang beribadah dengan motivasi ingin diberi bantuan dana, dan ingin mendapatkan keuntungan (1 Timotius 6:5). Yang ke gereja untuk mencari untung bukan hanya orang miskin saja, orang kaya pun banyak. Ke gereja agar dapat memperbanyak rekan bisnis, tapi tidak fokus ke ibadahnya. Paulus mengingatkan, ibadah memang memberi keuntungan besar, jika disertai rasa cukup. Cukup itu seperti apa? Paulus mengatakan cukup itu asal ada makanan dan pakaian (1 Timotius 6:8).  Oleh karena itu, Paulus berpesan jangan ke gereja untuk mencari keuntungan tapi kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan (1  Timotius 6:11).

Renungan minggu ini memang sangat tajam, mungkin banyak yang tersinggung dan sakit hati. Jika kita merasa seperti orang kaya dalam kisah Yesus atau orang miskin dan kaya dalam jemaat Timotius atau lebih-lebih lagi seperti orang kaya dalam kisah Amos, cepatlah memperbaiki diri sebelum terlambat  karena jika Tuhan memanggil kita, tidak ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Peringatkan juga saudara atau rekan kita yang sampai sekarang mungkin masih seperti orang kaya atau orang miskin dalam renungan minggu ini karena ketika kita telah dipanggil Tuhan, kita tidak bisa lagi memperingatkan saudara atau rekan kita (Lukas 16: 27-31).

Namun jika kita tidak seperti orang kaya ataupun orang miskin tersebut, maka berlaku biijaklah terhadap uang. Pergunakan uang dengan bijak, jangan tamak. Ingatlah, “akar segala kejahatan ialah cinta uang.”


Nuryanto Gracia

Jumat, 20 September 2013

ETIKA PERGAULAN


ETIKA PERGAULAN

FLP 2:14-15

Menolong orang baik atau tidak? Kebanyakan dari kita akan menjawab bahwa menolong adalah tindakan yang baik. Coba perhatikan kisah Yesus dalam Mrk 1:35-39, dalam perikop itu orang banyak mencari Yesus. Mereka berharap Yesus menolong mereka. Namun apakah Yesus menolongnya? Tidak. Yesus justru pergi ke tempat lain (Mrk 1:38). Apakah itu artinya Yesus melakukan hal yang tidak baik karena Yesus tidak mau menolong?  

Jika kita melihat pengemis dipinggir jalan lalu tergerak untuk membantunya, itu baru disebut kedasaran etis, bukan etika. Kesadaran etis sering muncul secara spontan tanpa disadari sepenuhnya oleh kita, berbeda dengan etika. Etika adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dan disengaja. Etika mengajak kita untuk melakukan suatu tindakan secara rasional. Oleh karena itu etika juga berbicara alasan mengapa kita melakukan tindakan tertentu.

Yesus tidak menolong orang banyak tersebut karena Dia sadar bahwa alasan Dia menolong orang banyak bukan untuk mengabulkan semua permintaan mereka, tapi untuk memberitakan Injil. Orang-orang banyak tersebut datang bukan untuk mendengarkan Injil, mereka hanya mau disembuhkan. Itu lah sebabnya Yesus lebih memilih pergi ke tempat lain untuk memberitakan Injil.

Dalam pergaulan harusnya kita tidak hanya memiliki kesadaran etis, kita juga dituntut untuk beretika sesuai nilai-nilai kristiani. Ketika teman dalam kesulitan kita memang harus menolong mereka tetapi kita tidak bisa langsung menolong begitu saja, kita harus tahu dulu kenapa dia bisa terlibat dalam masalah tersebut. Jangan-jangan jika kita menolongnya justru membuat dia tambah malas. Misalnya dia tidak mengerjakan PR atau tidak mencatat di kelas karena malas. Karena merasa menolong teman adalah tindakan yang baik maka kita mengerjakan PRnya atau meminjamkan catatan kita.

Paulus mengingatkan bahwa angkatan ini adalah angkatan yang bengkok hatinya, jangan mudah tertipu oleh muka iba mereka. Jangan menolong para pemalas. Pertimbangkan segala sesuatu dengan seksama sehingga “kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Flp 2:15).
Nuryanto Gracia

Rabu, 18 September 2013

YANG SETIA YANG DIPUJI


YANG SETIA YANG DIPUJI

AMOS 8:4-7; MZM 113; 1 TIMOTIUS 2:1-7; LUKAS 16:1-13

Di gereja mendengar khotbah dengan mata berbinar-binar, kembali ke rumah justru jadi orang yang sangar. Sangar dengan anak, sangar dengan suami/istri, sangar dengan orangtua, sangar dengan tetangga. Di gereja membaca Alkitab dengan tenang, di rumah bikin perang. Perang dengan anak, perang dengan suami/istri, perang dengan orangtua, perang dengan tetangga. Di gereja memuji Tuhan dengan berapi-api, di tempat kerja menceritakan keburukan orang lain juga dengan berapi-api. Apa gunanya beribadah di gereja jika begitu? Apakah kita berharap dengan rajin beribadah saja akan menyenangkan hati Tuhan? Apakah Tuhan senang dengan ibadah kita yang semarak dan gegap gempita? Apakah Tuhan senang dengan banyaknya uang persembahan yang kita berikan tiap minggu?

“Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar” (Amos 5:21-23). Tuhan membenci ibadah umat Israel pada zaman Amos. Mengapa? Karena mereka melakukan kekejian terhadap orang miskin dan sengsara, mereka melakukan ketidakadilan, mereka memperjualbelikan manusia (Amos 8:4-6). Intinya, ibadah dan kehidupan nyata mereka sangat berbeda.

Jangan-jangan juga Tuhan tidak suka dengan ibadah kita. Ibadah yang hanya berbentuk ritualitas tanpa spiritualitas. Ibadah yang hanya menarik namun munafik. Ibadah yang hanya peduli dengan kepentingan diri sendiri dan tidak peduli dengan kepentingan orang lain. Ibadah yang hanya memuaskan ego sendiri agar diselamatkan masuk surga, agar diberkati seluruh hidupnya, agar dilancarkan seluruh bisnisnya, agar indah masa depannya.

Padahal, Tuhan yang disembah dalam ibadah kita, Tuhan Yesus Kristus, adalah Tuhan yang tidak hanya memikirkan diri sendiri melainkan juga kepentingan orang lain.  Dalam 1 Timotius 2:3-4 Paulus mengatakan, “Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” Tuhan ingin semua orang diselamatkan, bukan hanya kita. Tuhan peduli dengan semua orang. Jika kita sungguh beribadah kepada Tuhan Yesus Kristus, maka seharusnya kita pun memiliki kepedulian yang sama denganNya.

Ibadah tidak hanya sekadar memuaskan keinginan dan kebutuhan sendiri tetapi juga berdampak bagi orang-orang di sekitar kita. Dampak baik yang kita berikan untuk orang-orang di sekitar kita, suatu saat nanti juga akan memberikan dampak yang baik bagi diri kita. Anehnya ini yang tidak disadari oleh setiap kita yang beribadah, justru hal ini disadari oleh bendahara yang tidak jujur dalam perumpamaan Yesus (Lukas 16:1-8).

Bendahara ini ketahuan oleh tuannya telah menghamburkan uang milik tuannya. Dia akan segera dipecat. Sebelum dipecat dia memikirkan apa yang bisa dilakukannya agar setelah dipecat hidupnya tidak sengsara. “Memberi dampak baik,” hal ini yang akhirnya dipilih secara cerdik oleh si bendara. Dia sadar jika dia memberi dampak baik bagi sekitarnya, suatu saat nanti sekitarnya pun akan memberi dampak baik bagi dirinya. Itu lah kenapa tuannya memuji dia, bukan karena perbuatan liciknya tapi karena kecerdikannya mengelola masalah dengan memanfaatkan sistem tabur tuai. Apa yang ditabur, itu yang dituai. Menabur kebaikan, akan menuai kebaikan. Bendahara itu lebih cerdik daripada kita yang sering beribadah, itulah kenapa kitab Lukas mengatakan “Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang” (Luk 16:8).

Kita belajar dari si bendahara bahwa peduli dengan sekitar akan berdampak baik juga bagi diri kita. Tapi motivasi kita peduli dengan sekitar berbeda dengan si bendara. Kita peduli dengan sekitar karena ungkapan syukur atas kasih Allah kepada kita. Kita beribadah di gereja juga sebagai ungkapan syukur atas kasih Allah. Oleh karena itu, ungkapan syukur kita harus holistik (menyeluruh), tidak hanya di gereja namun juga dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Ketika bersyukur atas kasih Allah diungkapkan dalam seluruh aspek kehidupan kita maka tidak ada lagi mereka yang baik di gereja namun jahat di luar. Atau baik di luar tapi tidak mau ke gereja karena merasa berbuat baik saja sudah cukup. Bersyukur secara holistik memang sulit, itulah kenapa kita lebih memilih cukup bersyukur di gereja saja. Tapi jika kita tetap setia maka Tuhan akan memuji kita, karena hanya yang setia yang layak mendapatkan pujian. “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan,” (Matius 25:34).

 

Nuryanto Gracia

Kamis, 12 September 2013

NGAFE: ANTARA GAYA HIDUP DAN BERSOSIALISASI



NGAFE: ANTARA GAYA HIDUP DAN BERSOSIALISASI
PENGKHOTBAH 11:9-10

“CHATIME.” Pertama kali saya membaca kata tersebut dari twit teman saya di akun twitter miliknya. Pertama kali saya pikir itu adalah kata alay dari chat time, waktunya chat. Ternyata setelah sekian lama saya baru tahu itu adalah tempat nongkrong remaja zaman sekarang selain starbucks, kopitiam dan tempat nongkrong lainnya yang termasuk ke dalam jenis kafe. Salah gak sih ngafe, nongkrong di kafe? Tidak salah namun akan menjadi salah. Apa maksudnya?

Jika dibandingkan nongkrong di trotoar lalu malakin orang seperti preman, nongkrong di jalan malam-malam sambil trek-trekan seperti gank motor, atau ke dugem dan clubbing untuk mabuk-mabukkan dan menggunakan narkoba, maka jelas ngafe jauh lebih baik. Di kafe-kafe modern sekarang, remaja dapat mengkonsumsi makanan dan minuman yang bebas dari narkoba dan alkohol. Di kafe juga remaja hanya duduk, ngobrol atau sekadar berselancar di dunia maya menggunakan fasilitas wifi gratis.

Sejauh penjelasan di atas, ngafe tidak masalah, kan? Iya betul. Lalu masalahnya di mana? Makanan dan minuman di kafe-kafe modern seperti itu mahal loh. Jika setiap hari hanya demi nongkrong yang asik dan kelihatan bergengsi oleh teman-teman maka kita harus ngafe, maka bayangkan berapa jumlah uang yang harus keluar selama sebulan? Betapa borosnya kita, padahal mungkin uangnya dapat digunakan untuk keperluan yang lain.

Pengkhotbah 11:9 mengatakan, “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!” Segala sesuatu yang kita perbuat harus kita pertanggungjawabkan nanti dihadapan Tuhan (pengadilan Tuhan). Uang jajan yang diberi orangtua juga harus kita pertanggungjawabkan. Apakah uang jajan tersebut hanya untuk berfoya-foya atau juga dipakai untuk keperluan lain yang lebih berguna?

Nuryanto Gracia

YANG HILANG, YANG DICARI, YANG DIKASIHI



YANG HILANG, YANG DICARI, YANG DIKASIHI
KEL 32: 7-14; MZM 51:1-10; 1 TIM 1:12-17; LUK 15:1-10

Jika alkitab hilang atau ketinggalan, apakah kita akan mencarinya atau akan membeli yang baru? Kebanyakan akan menjawab membeli yang baru. Jika Handphone (HP), tablet atau laptop hilang, apakah kita akan mencarinya atau membeli yang baru? Kebanyakan akan menjawab mencarinya. Bahkan mencarinya sambil menangis karena takut tidak ketemu. Jika sampai tidak ketemu maka akan menangis sejadi-jadinya.

Sama-sama kehilangan namun reaksinya berbeda jauh karena benda yang hilang berbeda. Mengapa alkitab hilang kita biasa saja sedangkan HP, tablet atau laptop yang hilang kita akan sangat kehilangan? Ada beberapa faktor yang menyebabkannya yaitu harga, kegunaan dan prestise (gengsi, wibawa atau martabat).

Dari segi harga, alkitab harganya jauh di bawah harga HP. Dari segi kegunaan, hampir setiap saat kita membawa-bawa HP ke mana-mana dan bukan Alkitab yang kita bawa ke mana-mana. Dari segi prestise, lebih bergengsi ke mana-mana membawa Ipad/iphone dibandingkan membawa Alkitab ke mana-mana. Itulah kenapa kehilangan alkitab tampak biasa saja dibandingkan kehilangan HP, tablet atau laptop.

Ternyata tiga faktor tersebut tidak hanya digunakan oleh manusia untuk menilai barang, tetapi juga untuk menilai sesamanya, jika seseorang tidak berharga karena masa lalunya yang buruk, jika seseoranga ga berguna karena ga ada sesuatu yang bisa dia kerjakan dengan baik, dan jika seseorang tersebut tidak bisa menambah prestise kita ketika kita dekat dengannya maka kita cenderung akan mengabaikan orang itu. Namun jika orang tersebut berharga, berguna dan dapat menambah nilai prestise kita, maka kita akan terus menempel dengannya.

Hal itu juga yang mungkin ada dalam pikiran umat Israel dalam Keluaran 32:7-14. Musa yang ditunggu dan Tuhan yang diharapkan tidak lagi tampak berharga dan berguna. Ditunggu lama tidak kunjung datang, mereka pikir Musa mungkin sudah mati, menunggunya tidak lagi berguna jadi mereka membuat tuhan baru.

Jika cara berpikir manusia tersebut menjadi cara berpikir Tuhan, maka manusia dilihat dari tiga faktor tersebut tidak ada lebihnya sama sekali untuk Tuhan. Sejak jatuh dalam dosa, manusia tidak lagi berharga karena hidupnya hanya terus melakukan dosa, manusia tidak lagi berguna karena tidak ada satu pun tindakan manusia yang menyenangkan hati Tuhan, manusia tidak dapat membuat prestise Tuhan naik karena Tuhan sudah mulia sebelum manusia ada.

Bersyukurlah, Tuhan tidak menilai kita dari tiga faktor tersebut. Jika Tuhan menilai dari tiga faktor tersebut, maka kita sudah lama dilenyapkan dan Tuhan tinggal menciptakan manusia yang baru, seperti kita yang lebih memilih membeli alkitab baru dibandingkan mencari alkitab yang hilang.
Sekali lagi, bersyukurlah karena Tuhan kita tidak melenyapkan kita lalu mengganti dengan yang baru. Dia justru mencari kita seperti gembala dalam perumpamaan Yesus (Luk 15: 1-7) yang mencari domba hilang padahal cuma satu. Yesus turun tangan sendiri untuk mencari tiap kita yang terhilang karena terjerumus dalam lembah dosa yang nyaman namun mematikan.

Paulus pun menyadari hal tersebut, betapa Yesus mengasihinya. Yesus mencari Paulus yang dahulu penghujat, penganiaya dan ganas (1Tim 1:13). Paulus bahkan menyadari bahwa semua orang memang berdosa  dan Paulus merasa dirinya lah yang paling berdosa di antara mereka semua, namun Yesus justru mengasihani dan sabar terhadapnya (1 Tim 1:15-16).

Setidak berharga apapun kita karena masa lalu kita yang buruk, Tuhan tetap menghargai kita. Tuhan mencari kita. Tuhan bersedia memulihkan kita. Jangan lari menjauh dari Nya. Larilah mendekat kepelukanNya dan rasakan kehangatan cinta yang memulihkan.

Setidak berguna apapun kita, Tuhan mencari kita. Tuhan bersedia menemani dan menguatkan kita sehingga kita yang dahulu adalah orang yang tidak berguna akan diubahkan dan dimampukan menjadi orang yang berguna bagi Tuhan, diri sendiri dan sesama. Mau kah kita dipulihkan? Mau kah kita diubahkan?

Nuryanto Gracia

Rabu, 04 September 2013

STYLISH


STYLISH

1 PETRUS 3:3-4

Apakah tampil cantik dengan komestik adalah perbuatan yang salah? Pernah ada zaman di mana perempuan dilarang tampil cantik dan berpakaian bagus, misalnya seperti di Roma. Di Roma perempuan dilarang tampil cantik dan berpakaian bagus karena sempat para perempuan kaya berjudi hanya demi dapat membeli kosmetik mahal dari India dan Timur Tengah. Di Cina juga sempat ada zaman di mana perempuan akan dihukum mati jika ketahuan menggunakan cat kuku/cutex di depan umum. Di Eropa juga sempat pernah ada zaman di mana mayoritas penduduk eropa meninggalkan kosmetik karena raja dan ratu membuat pernyataan publik bahwa pemakaian kosmetik adalah tindakan yang tidak pantas. Selain itu juga para petinggi gereja menyebarkan ajaran bahwa kosmetik hanya digunakan oleh kafir dan penyembah setan.

Surat 1 Petrus 3:3-4 sekilas juga menceritakan kepada kita bahwa sempat ada zaman di mana gereja melarang anggota jemaatnya yang perempuan untuk mengenakan perhiasan secara lahiriah, “Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah,” (1 Pet 3:3). Mengapa gereja melarang hal tersebut? Surat Petrus dikirim untuk jemaat di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia (1Pet 1:1). Dalam jemaat tersebut banyak kaum istri yang lebih mengagung-agungkan bahkan menyombongkan perhiasan lahiriah. Mereka tidak peduli dengan inner beauty atau istilah Petrus adalah manusia batiniah, sehingga tidak ada rasa hormat dengan suaminya dan juga sesamanya.

Sekarang yang berusaha tampil cantik bukan hanya perempuan, laki-laki juga. Itulah sebabnya sekarang dikenal istilah lelaki metroseksual. Berpenampilan cantik boleh saja, tapi perlu diingat bahwa percuma cantik luarnya tapi tidak hatinya. Kita berdandan cantik bukankah agar orang lain dapat menerima kita? Nah bayangkan jika kita cantik luarnya tapi sombong hatinya? Siapa yang mau berteman dan menerima kita?

Manusia itu bukan terdiri dari tubuh saja tapi juga hati (perasaan dan pikiran).  Oleh karena itu, jika mau berdandan, berdandanlah secara holistik. Holistik artinya menyeluruh. Dandanilah seluruh diri kita, tubuh dan juga hati. Selamat berdandan.

 Nuryanto Gracia

MELEPASKAN MILIK UNTUK MENGIKUT TUHAN


MELEPASKAN MILIK UNTUK MENGIKUT TUHAN

UL 30: 15-20; MZM 1:1-6, FIL 1: 1-21; LUK :14-25-33

Bacaan minggu ini dipenuhi dengan rentetan pilihan, sama seperti hidup kita yang dipenuhi oleh rentetan pilihan. Tidak ada satu hari pun dalam hidup ini yang mengijinkan kita untuk tidak memilih.

Ulangan 30:15 mengajak kita memilih kehidupan dan keberuntungan atau kematian dan kecelakaan, “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan.” Memilih kehidupan dan keberuntungan konsekuensinya harus hidup mengasihi Tuhan dan sesuai dengan jalan-Nya yang terkadang melelahkan dan tidak menyenangkan tapi kita akan hidup dan beruntung. Tapi jika kita memilih kematian dan kecelakaan, “maka aku memberitahukan kepadamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu akan binasa; tidak akan lanjut umurmu di tanah, ke mana engkau pergi,” (Ul 30:18)

Paulus dalam Filemon 1:17 mengatakan “Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.” Paulus memberikan pilihan kepada Filemon, mau menganggap Paulus teman seimannya atau tidak? Jika iya, maka terimalah Onesimus seperti dia menerima Paulus. Pilihan ini tampak mudah bagi kita yang membacanya dalam kacamata dunia sekarang. Namun coba kita tempatkan dalam posisi Filemon saat itu. Onesimus adalah budak yang dibeli oleh Filemon. Budak tidak bisa begitu saja kabur dari tempat tuannya. Namun pada saat itu, Onesimus kabur dari tempat Filemon. Bayangkan perasaan benci yang timbul dalam diri Filemon terhadap Onesimus pada saat itu. Dalam keadaan benci seperti itu, Paulus meminta Filemon mengampuninya dan menganggap Onesimus seperti Paulus. Jika Onesimus tidak kabur saja, dia adalah budak. Tidak mungkin dia disamakan dengan Paulus. Ini ditambah lagi dia seorang budak yang berusaha kabur dari tuannya dan harus diterima seperti Filemon menerima Paulus. Pilihan yang sangat sulit.

Perhatikan juga kisah Yesus dalam Lukas 14:25-33. Pada saat itu banyak orang mengikutinya. Seandainya Yesus seorang politikus pada masa kini, ketika Yesus berpaling ke mereka maka bunyi Lukas 14:26-27 tidak lah seperti sekarang, mungkin bunyinya akan menjadi “"Jikalau seseorang memilih dan mengikut Aku, maka hidup bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan akan terjamin. Bahkan nyawa bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan akan aman. Hidupnya tidak akan pernah menderita.” Namun sayangnya, Yesus bukanlah seorang politikus yang hanya bisa mengobral janji muluk. Yesus justru memberikan pilihan sulit bagi orang-orang yang mau mengikutNya. Oleh karena itu lah, dalam Luk 14:26-27 Yesus mengatakan, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Ditambah lagi ayat 33 Yesus mengatakan, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”

Yesus memberikan pilihan mau ikut Dia atau tidak? Jika mau ikut Dia maka kita harus miseo. Miseo adalah kata Yunani yang diterjemahkan oleh LAI dengan “membenci” pada ayat 26. Miseo dapat juga diartikan “menghormati dengan kasih sayang yang lebih sedikit” atau “mengasihi atau menghargai lebih sedikit.” Itu artinya jika ingin mengikut Yesus rasa sayang dan hormat kita harus jauh “lebih banyak” kepada Yesus dibandingkan dengan keluarga kita. Jika sekarang kita begitu sayang dan hormat dengan keluarga kita, maka dengan Yesus harus jauh lebih dari itu.

Dari bacaan kesatu hingga yang ketiga, kita diperhadapkan pada pilihan yang teramat sulit. Maukah kita memilih kehidupan dan keberuntungan? Maukah kita memperlakukan orang yang paling hina dan paling kita benci seperti kita memperlakukan orang yang kita hormati dan kasihi? Mau kah kita mengikut Yesus dengan kasih dan hormat yang jauh “lebih banyak” dari rasa kasih dan hormat kita kepada keluarga kita?

Berat memang pilihannya, namun pemazmur mengatakan berbahagialah kita yang memilih semua itu, yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa (Mzm 1:1), karena hidup kita seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil (Mzm 1:3).

 

Nuryanto Gracia