DARI BETLEHEM KE MESIR: KALA KEKUATAN TAK MEMBERI RUANG BAGI KEHADIRAN
YANG LAIN
YESAYA 63:7-9; MAZMUR 148; IBRANI 2:10-18; MATIUS 2:13-23
“Terdengarlah suara di Rama
tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau
dihibur, sebab mereka tidak ada lagi” (Matius 2:18). Penulis matius mengutip
ayat tersebut dari Yeremia 31:15 untuk menyatakan firman yang disampaikan oleh
nabi Yeremia telah digenapi, sekaligus memberikan gambaran betapa saat itu
keadaannya sangat memilukan. Di mana-mana terjadi pembantaian bayi di bawah dua
tahun.
Suara jeritan dan tangisan
histeris pasti terdengar di setiap rumah yang memiliki bayi di bawah dua tahun.
Bisa kita bayangkan betapa sakitnya seorang ibu dan mungkin juga seorang ayah,
ketika melihat anaknya yang masih bayi diambil paksa untuk dibunuh. Mengapa
tindakan keji seperti itu terjadi? Karena seorang penguasa yang tak memberi
ruang bagi kehadiran yang lain, bahkan hanya untuk bayi berumur dua tahun ke
bawah pun dia tidak mau berbagi ruang. Yesus yang masih bayi dan kedua
orangtuanya pun tidak mendapat ruang sehingga mereka harus menyingkir dari
Betlehem ke Mesir.
Penguasa yang tidak memberi ruang
bagi kehadiran orang lain pun terus berlanjut, tidak hanya pada saat Yesus
hidup tetapi juga setelah Yesus terangkat ke surga. Kaisar Nero tidak memberi
ruang bagi agama baru, yaitu Kristen. Dia menganiaya dan melakukan tindakan
keji terhadap orang-orang kristen. Tindakan tersebut dilanjutkan terus oleh
penguasa lainnya seperti Kaisar Domitianus, Trajan, Marcus Aurelius Antonius,
Lucius Septimus Severus, Marcus Clodius Pupienus Maximus, Decius, Valerian,
Lucius Domitius Aurelianus dan Diodetian. Penganiayaan itu terus berlanjut
hingga akhirnya kekristenan menjadi agama penguasa, dan akhirnya berkuasa.
Namun kekristenan, pada saat itu
Katholik, yang telah menjadi penguasa melakukan hal yang sama seperti para
penguasa yang dahulu menganiaya mereka. Mereka melakukan penganiayaan terhadap
aliran kekristenan yang berbeda ajaran dengan mereka. Tindakan ini biasa
disebut inkuisisi. Orang-orang yang tidak setuju dengan doktrin mereka disebut
bidat. Para bidat harus bertobat serta bersumpah setia kepada Paus dan wakil
gereja. Jika tidak maka mereka akan dihukum mati. Bidat yang tidak bertobat
akan disiksa, dipotong tangan atau kaki, dibakar hidup-hidup atau siksaan keji
yang lainnya. Kekejian ini terjadi dari tahun 1208-1834.
Kelompok Waldenses di Prancis
menjadi korban pertama dari kekejaman inkuisi Paus. Para tokoh reformator pun,
yang melahirkan kristen protestan, menghadapi penganiayaan juga seperti John
Wycliffe, John Huss, William Tyndale, John Frith, Andrew Hewet, Marthin Luther
dan John Calvin.
Sekali lagi, kekristenan tidak
belajar dari masa lalunya. Protestan yang dulu dianggap bidat dan dianiaya oleh
Katholik telah menjadi penguasa. Namun ketika mereka menjadi penguasa, mereka
juga melakukan penganiayaan kepada mereka yang berbeda ajaran. Michael
Servetus, seorang teolog asal Spanyol, diikat di sebuah tiang lalu dibakar di
bukit Champel, di selatan kota Jenewa oleh para penjaga iman Protestan di
Jenewa. Bahkan para tokoh reformator pun melakukan kekejian karena tidak bisa
menerima perbedaan. Zwingli tercatat membunuh banyak kaum anabaptis karena
berbeda paham ajaran mengenai baptisan.
Apakah kekuasaan selalu berkaitan
dengan penolakan terhadap keberadaan yang lain?
Kita yang saat ini berkuasa di
rumah, sebagai orangtua, janganlah sampai menolak anak-anak kita karena mereka
berbeda dengan kita. Kita yang berkuasa di tempat kerja/tempat belajar,
janganlah sampai menolak mereka yang berbeda dengan kita. Kita yang berkuasa di
gereja, janganlah sampain menolak mereka yang berbeda pemikiran dan ajaran
dengan kita. Kita yang berkuasa di masyarakat janganlah sampai menolak mereka
yang berbeda dengan kita. Ingatlah, Yesus yang lahir adalah Tuhan yang
merangkul mereka yang tertolak.
Nuryanto Gracia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar