Kamis, 26 Desember 2013

DARI BETLEHEM KE MESIR: KALA KEKUATAN TAK MEMBERI RUANG BAGI KEHADIRAN YANG LAIN

DARI BETLEHEM KE MESIR: KALA KEKUATAN TAK MEMBERI RUANG BAGI KEHADIRAN YANG LAIN
YESAYA 63:7-9; MAZMUR 148; IBRANI 2:10-18; MATIUS 2:13-23

“Terdengarlah suara di Rama tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi” (Matius 2:18). Penulis matius mengutip ayat tersebut dari Yeremia 31:15 untuk menyatakan firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia telah digenapi, sekaligus memberikan gambaran betapa saat itu keadaannya sangat memilukan. Di mana-mana terjadi pembantaian bayi di bawah dua tahun.
Suara jeritan dan tangisan histeris pasti terdengar di setiap rumah yang memiliki bayi di bawah dua tahun. Bisa kita bayangkan betapa sakitnya seorang ibu dan mungkin juga seorang ayah, ketika melihat anaknya yang masih bayi diambil paksa untuk dibunuh. Mengapa tindakan keji seperti itu terjadi? Karena seorang penguasa yang tak memberi ruang bagi kehadiran yang lain, bahkan hanya untuk bayi berumur dua tahun ke bawah pun dia tidak mau berbagi ruang. Yesus yang masih bayi dan kedua orangtuanya pun tidak mendapat ruang sehingga mereka harus menyingkir dari Betlehem ke Mesir.
Penguasa yang tidak memberi ruang bagi kehadiran orang lain pun terus berlanjut, tidak hanya pada saat Yesus hidup tetapi juga setelah Yesus terangkat ke surga. Kaisar Nero tidak memberi ruang bagi agama baru, yaitu Kristen. Dia menganiaya dan melakukan tindakan keji terhadap orang-orang kristen. Tindakan tersebut dilanjutkan terus oleh penguasa lainnya seperti Kaisar Domitianus, Trajan, Marcus Aurelius Antonius, Lucius Septimus Severus, Marcus Clodius Pupienus Maximus, Decius, Valerian, Lucius Domitius Aurelianus dan Diodetian. Penganiayaan itu terus berlanjut hingga akhirnya kekristenan menjadi agama penguasa, dan akhirnya berkuasa.
Namun kekristenan, pada saat itu Katholik, yang telah menjadi penguasa melakukan hal yang sama seperti para penguasa yang dahulu menganiaya mereka. Mereka melakukan penganiayaan terhadap aliran kekristenan yang berbeda ajaran dengan mereka. Tindakan ini biasa disebut inkuisisi. Orang-orang yang tidak setuju dengan doktrin mereka disebut bidat. Para bidat harus bertobat serta bersumpah setia kepada Paus dan wakil gereja. Jika tidak maka mereka akan dihukum mati. Bidat yang tidak bertobat akan disiksa, dipotong tangan atau kaki, dibakar hidup-hidup atau siksaan keji yang lainnya. Kekejian ini terjadi dari tahun 1208-1834.
Kelompok Waldenses di Prancis menjadi korban pertama dari kekejaman inkuisi Paus. Para tokoh reformator pun, yang melahirkan kristen protestan, menghadapi penganiayaan juga seperti John Wycliffe, John Huss, William Tyndale, John Frith, Andrew Hewet, Marthin Luther dan John Calvin.
Sekali lagi, kekristenan tidak belajar dari masa lalunya. Protestan yang dulu dianggap bidat dan dianiaya oleh Katholik telah menjadi penguasa. Namun ketika mereka menjadi penguasa, mereka juga melakukan penganiayaan kepada mereka yang berbeda ajaran. Michael Servetus, seorang teolog asal Spanyol, diikat di sebuah tiang lalu dibakar di bukit Champel, di selatan kota Jenewa oleh para penjaga iman Protestan di Jenewa. Bahkan para tokoh reformator pun melakukan kekejian karena tidak bisa menerima perbedaan. Zwingli tercatat membunuh banyak kaum anabaptis karena berbeda paham ajaran mengenai baptisan.
Apakah kekuasaan selalu berkaitan dengan penolakan terhadap keberadaan yang lain?
Kita yang saat ini berkuasa di rumah, sebagai orangtua, janganlah sampai menolak anak-anak kita karena mereka berbeda dengan kita. Kita yang berkuasa di tempat kerja/tempat belajar, janganlah sampai menolak mereka yang berbeda dengan kita. Kita yang berkuasa di gereja, janganlah sampain menolak mereka yang berbeda pemikiran dan ajaran dengan kita. Kita yang berkuasa di masyarakat janganlah sampai menolak mereka yang berbeda dengan kita. Ingatlah, Yesus yang lahir adalah Tuhan yang merangkul mereka yang tertolak.

Nuryanto Gracia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar