Senin, 26 Agustus 2013

MENJARING ANGIN: UPAYA MENEMUKAN HIKMAT DI TENGAH KEHIDUPAN

MENJARING ANGIN:
UPAYA MENEMUKAN HIKMAT DI TENGAH KEHIDUPAN
Pkh. 1:2, 12-14, 2:18-23, Mzm. 49:1-12, Kolose 3:1-11, Lukas 12:13-21



Beberapa waktu lalu, seorang teman pernah berkata, “banyak makanan yang gue makan hari ini: tempe mendoan, ikan gurame goreng, tahu goreng, kangkung dll. Tapi mengapa rasa lapar datang kembali?. Makan dan gak makan sama aja, toh akhirnya gue ngerasa lapar lagi”. Dari perkataannya tersirat bahwa seolah makanan tidak berguna karena tidak bertahan lama untuk menutupi rasa laparnya. Namun apakah benar kalau makanan tidak berguna? Apakah benar kalau makan adalah sesuatu yang sia-sia?
Salomo juga banyak merasakan dan melihat kesia-siaan dalam hidup. Salomo mengalami bahwa waktu berputar begitu saja dan sebenarnya tidak ada yang baru di dunia ini. Matahari terbit, terbenam dan akan kembali terbit lagi, semua air sungai mengalir ke laut tapi toh laut tidak penuh-penuh juga. Walaupun Salomo orang yang berhikmat, namun Salomo senang untuk terus-menerus menambah hikmat. Sayanganya hal ini dia rasakan sebagai suatu kesia-siaan sebab tidak semua orang memiliki semangat dan kerinduan untuk memiliki hikmat. Hikmat yang dimiliki Salomo juga pada akhirnya ia tinggalkan untuk mereka yang tidak berjerih payah (Pkh. 2:21). Salomo juga melihat bahwa akhir hidup semua manusia itu sama: baik orang berhikmat maupun orang bodoh akan sama-sama mati (Pkh. 2:16). Salomo pesimis, ia melihat segala usaha yang dilakukan manusia di bawah Matahari pada akhirnya seperti usaha menjaring angin.
Usaha menjaring angin itu juga tampak dalam perumpamaan seorang pemuda kaya yang memiliki hasil tanah yang berlimpah-limpah (Luk.12:16-20). Dengan hasil tanah yang berlimpah-limpah tentu membuat pemuda itu tidak perlu khawatir akan masa depannya. Pemuda itu sangat yakin bahwa hartanya dapat membuat ia senang dan membuat aman jiwanya. Padahal harta tidak menjamin orang bisa tidur nyenyak di waktu malam, harta tidak menjamin orang bisa membeli kesehatan, harta juga tidak menjamin kondisi hidup berumah tangga berjalan baik. Memang mesti diakui bahwa pemuda itu mendapat kekayaan dengan berjerih payah. Namun jerih payah pemuda itu sia-sia sebab harta tidak dibawa mati. Pemuda itu juga belum mempersiapkan siapa yang menjadi pewaris harta kekayaannya.
Salomo dan Pemuda Kaya itu memiliki kesamaan cara pandang bahwa hidup itu hanya untuk hari ini dan di sini. Sehingga segala usaha yang dilakukan mereka hanya bermanfaat untuk waktu yang sebentar saja. Selebihnya manusia hanya menikmati hasil dari jerih payah hidupnya. Kedua pandangan ini berorientasi pada hal-hal yang duniawi saja namun cara pandang seperti ini mau menunjukkan bahwa cara hidup mereka adalah cara hidup manusia lama yang masih berorientasi pada diri sendiri. Namun orang-orang Kristen yang telah ditebus oleh kematian dan kebangkitan Kristus hendaknya meninggalkan cara hidup lama dan memiliki cara hidup baru. Orang-orang Kristen yang memiliki cara hidup baru ditandai dengan meninggalkan sifat-sifat duniawi seperti keserakahan, marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor (Kol. 3:5-8). Mereka sekarang hidup dengan sikap belas kasih, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran (Kol. 3:12).
Jadi baik itu makan, bekerja maupun beribadah bagi orang-orang Kristen bukanlah sesuatu yang sia-sia bila kita melihat aktivitas tersebut tidak dalam jangka saat ini atau di bumi saja (earth oriented) melainkan dalam rangka kekekalan dengan cara hidup baru dimana Kristus menjadi tujuan hidup kita. Memiliki cara pandang Kristus atau cara hidup baru adalah penting sebab inilah hikmat yang berasal dari Kristus. Dengan hikmat inilah, kita yakin bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di tengah-tengah kehidupan bukanlah usaha menjaring angin.

Febrita Melati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar